Sabtu, 08 Desember 2012

Perizinan di Bidang Lingkungan


   Perizinan di Bidang Lingkungan 
1.      Gambaran Umum tentang Lingkungan
Konsep pembangunan  masa lalu adalah konsep menghabiskan sumber daya alam, tanpa memikirkan dampak lingkungan, berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan. Ketamakan manusia yang lebih mengutamakan keuntungan akan sangat berbahaya kalau tidak diatai secara benar. (Tap MPR, Tentang GBHN Tahun 1999-2004).
Manusia adalah bagian dari ekosistem, manusia adalah pengelola dari system tersebut. Alam dipengaruhi oleh manusia (man made nature) dan manusia dipengaruhi oleh alam (nature made man).
Atas dasar peranan manusia tersebut, khususnya di dalam pembangunan,  perlu adanya pengaturan yang dapat mencegah atau menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan. Konsep pembangunan yang akan dilaksanakan haruslah memperhatikan dampak lingkungan, jauh ke depan, kalau perlu berpuluh-puluh bahkan beratus ratus tahun kedepan demi generasi masa depan. Maka dari itu setiap langkah kedepan yang menyangkut lingkungan haruslah memperhatikan dampak lingkungan dan menaati prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan demi anak cucu dimasa mendatang.
2.      Syarat Perizinan Bidang Lingkungan
           Salah satu persyaratan izin di bidang lingkungan adalah bahwa kegiatan-kegiatan usaha tersebut harus memiliki AMDAL yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan  usaha tersebut tidak menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
           Diwajibkannya AMDAL bagi setiap kegiatan telah ditegaskan dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan :
(1)   Setiap usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap linkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk mempeoleh izin melakukan usaha dan atau kegiatan.
(2)   Izin melakukan usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Dalam izin sebagaimana tersebut pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
            Banyaknya izin yang diperlukan dalam suatu kegiatan usaha, sangat membingungkan, dan berpengaruh terhadap upaya penegakan hukum lingkungan. Apabila ada pelanggaran-pelanggaran berat oleh perusahaan, sulit ditentukan izin mana yang akan dicabut. Apabila salah satu izin dicabut, tetap saja perusahaan itu masih bisa melakukan usahanya atas asar izin-izin yang lainnya, sebab satu usaha tidak jarang yang memiliki lebih dari dua izin.
            Menurut Adrian Sutedi dikatakan bahwa            “Untuk memudahkan pemberian sanksi, pemberian izin harus dilakukan oleh satu instansi saja (jika di Daerah cukup dibentuk Dinas Perizinan).
                   Selain itu, masalah pengawasan terhadap perusahaan yang telah mendapat izin juga sangat penting dilakukan. Karena pemberian izin itu diberikan disertai dengan persyaratan, maka harus dilakukan control, baik oleh instansi pemberi izin maupun oleh pengadilan. Kontrol yang dilakukan oleh instansi pemberi izin pada dasrnya haryaratan-persyaratan yang telah dituangkan dalam surat kepuutusan pemberian izin. Kontrol tersebut meliputi izin itu untuk di daerah mana, dan sebagainya. (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 243).
3.         Instansi Pemberi Izin, Tugas dan Wewenangnya
            Berbagai persoalan lingkungan hidup, seperti kerusakan sumber daya alam , pengrusakan lingkungan maupun pencemaran , serta terabaikannya kepentingan masyarakat adat dan masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber daya alam disebabkan karena kebijaksanaan yang dilahirkan oleh pemerintah Orde Baru, yang tidak memihak kepada kepentingan mayoritas rakyat banyak (mayority of the people) dan perlindungan daya dukung ekosistem.
            Kala itu yang banyak terjadi adalah munculnya berbagaai kebijakan-kebijakan yang menguntungkan fihak investor asing dan kelompok elit-elit pengusaha yang dekat dengan kekuasaan, meskipun sudah ada perangkat hukum untuk memelihara kelestarian lingkungan hidup.
            Konflik antara kebijakan-kebijakan, maupun pelaksanaan-pelaksanaannya, dengan perangkat-perangkat hukum adalah merupakan sengketa lingkungan hidup, yang perlu diselesaikan melalui penegakan hukum lingkungan. Hal ini sesuai dengan devinisi tentang lingkungan hidup yang dikemukakan oleh Abdurrahman, yang mengatakan bahwa sengketa lingkungan hidup itu adalah perselisihan dua fihak atau lebih dari subyek hukum baik perseorangan atau kelompok orang. Dan penyebab sengketa itu adalah adanya (secara realita) atau diduga (baru sebatas dugaan) adanya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup. (Abdurrahman et.al. 2001, hal 554)  
            Penegakan sengketa lingkungan  melalui hukum administrasi, dahulu dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), yang merupakan lembaga pemerintah nondepartemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Akan tetapi sejak tanggal 7 Januai 2002, dengan alasan mendukung terselenggaranya  tertib administrasi pemerintahan maka segala tugas-tugas Bapedal tersebut dialihkan kepada kementerian lingkungan hidup, artinya yang tadinya merupakan  tugas nondeparemen, beralih menjadi tugas-tugas pemerintah/ kementerian. (Kepres Nomor 2 Tahun 2002, Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001, entang Keduukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara).
            Peralihan sebagaimana tersebut diatas menjadi controversial, karena adanya keberatan-keberatan dari fihak-fihak yang terkait, terutama dari fihak Koalisi Organisasi nonpemerintah (Ornop).
            Alasan-alasan  perbahan di atas, oleh fihak kementerian dikatakan  bahwa selain untuk tertib administrasi, juga dengan perubahan-perubahan itu, tugas-tugas penegakan hukum lingkungan tidak dihapuskan (tetap ada), Cuma dialihkan saja, yang tadinya dilakukan oleh Bapedal, sekarang menjadi kementerian lingkungan hidup dengan deputi-deputi khusus. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya dualisme di dalam menangani masalah-masalah lingkungan hidup.
            Tugas-tugas penegakan hukum lingkungan terutama adalah melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan keruskan lingkungan hidup, serta pemulihan kwalitas lengkungan hidup sebagai akibat dari pelaku-pelaku kegiatan usaha yang berlebihan. Sebagai tindak lanjut dari itu, perlu dilakukan beragai tindakan-tindakan, seperti : pengkajian serta penyusunan , pemamntauan , pengawasan (control) dan penerapan sanksi-sanksi administrasi bagi pelanggar. ( Undang-Undang Nomor 23, Tenatang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 25, 27).
            Berikut perihal peranan, Pemerintah derah, seperti : Gubernur, bupati, dan walikota mempunyai peranan di dalam proses penegakan hukum lingkungan melalui hukum administrasi. Hal ini terlihat dari wewenang tentang “paksaan pemerintahan” dan usul pencabutan izin usaha kepada pejabat yang berwenang. Untuk itu, pemerintah provinsi, yang dipelopori oleh DKI Jakarta, membentuk BPLHD, sebagai pengganti BAPEDALDA.
            BPHLD ini bukan organ bawahan dari kementerian lingkungan hidup, melainkan ada di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.   
             Setelah izin dikeluarkan, maka perlu dilakukan pengawasan, untuk memantau apakah kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Pengawasan dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan menunjuk pejabat yang berwenang untuk itu, atau dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah, yang juga menetapkan pejabat yang berwenang untuk itu.
            Pengawas berwenang melakukan tugas pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau transportasi, serta meminta keterangan dari fihak yang bertangung jawabatas usaha dan/atau kegiatan. Penanggung jawab usaha wajib memenuhi permintaan petugas pengawas, asal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
       Pelaksana tugas pengawasan diatas, biasanya dikenal dengan sebutan inspektur, yang dapat melakukan kunjungan-kunjungan regular kepada obyek yang diawasi, maupun secara dadakan (impromtu) sesuai kebutuhan.  (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 252).
4.      Pembangunan Berkelanjutan (Substainable Development)
             Sebagai respon terhadap hal-hal diatas muncullah konsep pembangunan yang berkelanjutan (Substainable Development). Di dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, disebutkan bahwa :
             “Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan azas tanggung jwab negara, azas berkelanjutan, dan azas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya dengan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
             Peranan dan arti penting dari hukum lingkungan, mengharuskan para hakim, pengacara, dan praktisi hukum lainnya untuk bersungguh-sungguh memeperhatikan hal ini. Apalagi jika kasus-kasus yang menyangkut lingkungan hidup itu sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
             Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mungkin dapat digolongkan  ke dalam unsur-unsur kepentingan umum dalam rangka pembangunan, karena kepentingan yang dilindungi dalam konsep pembangunan tersebut bukan hanya individu atau masyarakat tertentu saja, melainkan kepentingan umum bahkan masyarakat dunia tanpa mengenal batas-batas wilayah negara, serta kepentingan masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang (masa depan).   
             Dalam hal demikian ini Kementerian Lngkungan Hidup dan BPLHD, bukan kuasa pengadilan, karena badan/ institusi tersebut hanya melakukan pengawasan, serta memberikan saran-saran kepada Menteri Lingkungan Hidup atau Pemerintah Daerah, untuk melakukan tindakan –tindakan berupa sanksi-sanksi administrasi. Institusi/ lembaga tersebut lebih banyak melakukan penataan dalam tugas pengawasannya, dari pada tindakan penghukuman (punishment). Kalau terpaksa saja, institusi/ lembaga tadi hanya membuat rekomendasi-rekomendasi kepada Menteri Lingkungan Hidup atau Kepala Daerah, sebagai laporan atas hasil pemantauannya.
             Menteri Lingkungan Hidup/ Kepala Daerahlah yang kemudian melakukan tindakan-tindakan berupa penghukuman (punishment), dalam bentukpaksaan pemerintahan, audit lingkungan, skorsing, pencabutan izin dan sebagainya. Semua penjatuhan sanksi-sanksi administrasi tersebut, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai obyek sengketa di PTUN, dapat digugat dari segi legalitasnya (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Tentang Pengelolaan Lingkungan HIdup).
             Selain sanksi-sanksi administrasi yang telah dikemukakan di atas, Paulus Efendi Lotulung, menguraikan sanksi-sanksi administrasi itu menurut sistematikanya, sebagai berikut :
a.       Teguran atau peringatan (lisan atau tulisan);
b.      Paksan nyata  (Bestuurs Dwang / executive coercion);
c.       Uang paksa (Dwangsom / Coersive sum);
d.      Pembayaran denda (fines);
e.      Penangguhan berlakunya izin (skorsing);
f.       Pencabutan izin;
g.      Penutupan perusahaan (Paulus Efendi Lotulung, 1995, hal 7)
            Semua jenis sanksi administrasi  , baru dapat diterapkan apabila sudah dimuat dalam peraturan dasrnya (basis regeling). Selanjutnya menurut Paulus Efendi L, bahwa “standar penilaian” terhadap sanksi administrasi terdiri atas :
a.        Kemungkinan diterapkannya sanksi, seperti :
1).  Adanya      kewenangan        pejabat     yang bersangkutan untuk menjatuhkan sanksi;
2). Adanya   fihak/orang  tertentu yang dapat dikenakan sanksi (pelanggaran hukum);
3).   Penentuan    adanya   fakta-fakta   yang   dapat menyebabkan dijatuhkannya sanksi.
b.   Kemurnian atau bersihnya tujuan penjatuhan sanksi yang ditepkan oleh pejabat, seperti :
1).  Azas   kecermatan  dan   azas   penghati-hatian dalam meneliti fakta dan kepentingan;
2). Azas tidak boleh adanya penyalahgunaan wewenang atau tindakan yang sewenang-wenang;
3). Mempertimbangkan segala kepentingan, yang termasuk policy dan kebijaksanaan pemerinah;
4).   Sanksi harus bersifat proporsional;
5). Tidak bersifat diskriminatif terhadap kasus yang serupa, dan sebagainya.
c.  Maksud    penjatuhan  sanksi   adalah   untuk menekankan kewajiban-kewajiban sebagai reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi. Bukan untuk pemberian nestapa dan bukan pula untuk pembayaran kepada fihak lain (Paulus Efendi Lotulung, 1995, hal. 10).
                   Penegakan hukum adinistrasi dapat dilakukan melalui sarana administrasi  iitu sendiri (kontrol intern), maupun melalui pengadilan (kontrol ekstern).
       Pengawasan melaui administrasi , dapat berupa :
a.       pemberian izin;
b.      pengawasan oleh inspektur;
c.       penjatuhan sanksi-sanksi administrasi;
d.      banding administrasi; dan lain sebagainya.
                  Secara garis besar pendekatan penataan dapat ditempuh melalui 4 (empat) pendekatan, yaitu :
a.       CAC (Common And Control)
b.      Pendekatan Ekonomi
c.       Pendekatan perilaku (behavior)
d.      Pendekatan pendayagunaan tekanan publik (public pressure). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar