Perizinan
di Bidang Lingkungan
1.
Gambaran
Umum tentang Lingkungan
Konsep pembangunan masa lalu adalah konsep menghabiskan sumber
daya alam, tanpa memikirkan dampak lingkungan, berupa kerusakan dan pencemaran
lingkungan. Ketamakan manusia yang lebih mengutamakan keuntungan akan sangat
berbahaya kalau tidak diatai secara benar. (Tap MPR, Tentang GBHN Tahun 1999-2004).
Manusia adalah bagian dari
ekosistem, manusia adalah pengelola dari system tersebut. Alam dipengaruhi oleh
manusia (man made nature) dan manusia
dipengaruhi oleh alam (nature made man).
Atas dasar peranan manusia
tersebut, khususnya di dalam pembangunan,
perlu adanya pengaturan yang dapat mencegah atau menimbulkan kerusakan
atau pencemaran lingkungan. Konsep pembangunan yang akan dilaksanakan haruslah
memperhatikan dampak lingkungan, jauh ke depan, kalau perlu berpuluh-puluh
bahkan beratus ratus tahun kedepan demi generasi masa depan. Maka dari itu
setiap langkah kedepan yang menyangkut lingkungan haruslah memperhatikan dampak
lingkungan dan menaati prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan demi anak cucu dimasa
mendatang.
2. Syarat Perizinan Bidang Lingkungan
Salah satu persyaratan izin di bidang lingkungan adalah
bahwa kegiatan-kegiatan usaha tersebut harus memiliki AMDAL yang menjamin bahwa
kegiatan-kegiatan usaha tersebut tidak
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
Diwajibkannya AMDAL bagi setiap
kegiatan telah ditegaskan dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan :
(1) Setiap
usaha dan atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
linkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk
mempeoleh izin melakukan usaha dan atau kegiatan.
(2) Izin
melakukan usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Dalam
izin sebagaimana tersebut pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan kewajiban
untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.
Banyaknya
izin yang diperlukan dalam suatu kegiatan usaha, sangat membingungkan, dan
berpengaruh terhadap upaya penegakan hukum lingkungan. Apabila ada
pelanggaran-pelanggaran berat oleh perusahaan, sulit ditentukan izin mana yang
akan dicabut. Apabila salah satu izin dicabut, tetap saja perusahaan itu masih
bisa melakukan usahanya atas asar izin-izin yang lainnya, sebab satu usaha
tidak jarang yang memiliki lebih dari dua izin.
Menurut
Adrian Sutedi dikatakan bahwa
“Untuk memudahkan pemberian sanksi, pemberian izin harus dilakukan oleh
satu instansi saja (jika di Daerah cukup dibentuk Dinas Perizinan).
Selain
itu, masalah pengawasan terhadap perusahaan yang telah mendapat izin juga
sangat penting dilakukan. Karena pemberian izin itu diberikan disertai dengan
persyaratan, maka harus dilakukan control, baik oleh instansi pemberi izin
maupun oleh pengadilan. Kontrol yang dilakukan oleh instansi pemberi izin pada
dasrnya haryaratan-persyaratan yang telah dituangkan dalam surat kepuutusan
pemberian izin. Kontrol tersebut meliputi izin itu untuk di daerah mana, dan
sebagainya. (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 243).
3.
Instansi
Pemberi Izin, Tugas dan Wewenangnya
Berbagai
persoalan lingkungan hidup, seperti kerusakan sumber daya alam , pengrusakan
lingkungan maupun pencemaran , serta terabaikannya kepentingan masyarakat adat
dan masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber daya alam disebabkan karena
kebijaksanaan yang dilahirkan oleh pemerintah Orde Baru, yang tidak memihak
kepada kepentingan mayoritas rakyat banyak (mayority
of the people) dan perlindungan daya dukung ekosistem.
Kala
itu yang banyak terjadi adalah munculnya berbagaai kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan fihak investor asing dan kelompok elit-elit pengusaha yang dekat
dengan kekuasaan, meskipun sudah ada perangkat hukum untuk memelihara
kelestarian lingkungan hidup.
Konflik
antara kebijakan-kebijakan, maupun pelaksanaan-pelaksanaannya, dengan
perangkat-perangkat hukum adalah merupakan sengketa lingkungan hidup, yang
perlu diselesaikan melalui penegakan hukum lingkungan. Hal ini sesuai dengan
devinisi tentang lingkungan hidup yang dikemukakan oleh Abdurrahman, yang
mengatakan bahwa sengketa lingkungan hidup itu adalah perselisihan dua fihak
atau lebih dari subyek hukum baik perseorangan atau kelompok orang. Dan
penyebab sengketa itu adalah adanya (secara realita) atau diduga (baru sebatas
dugaan) adanya pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup. (Abdurrahman
et.al. 2001, hal 554)
Penegakan
sengketa lingkungan melalui hukum
administrasi, dahulu dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
(Bapedal), yang merupakan lembaga pemerintah nondepartemen yang berkedudukan di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Akan tetapi sejak tanggal 7 Januai
2002, dengan alasan mendukung terselenggaranya
tertib administrasi pemerintahan maka segala tugas-tugas Bapedal
tersebut dialihkan kepada kementerian lingkungan hidup, artinya yang tadinya
merupakan tugas nondeparemen, beralih
menjadi tugas-tugas pemerintah/ kementerian. (Kepres Nomor 2 Tahun 2002,
Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001, entang
Keduukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri
Negara).
Peralihan
sebagaimana tersebut diatas menjadi controversial, karena adanya
keberatan-keberatan dari fihak-fihak yang terkait, terutama dari fihak Koalisi
Organisasi nonpemerintah (Ornop).
Alasan-alasan perbahan di atas, oleh fihak kementerian
dikatakan bahwa selain untuk tertib
administrasi, juga dengan perubahan-perubahan itu, tugas-tugas penegakan hukum
lingkungan tidak dihapuskan (tetap ada), Cuma dialihkan saja, yang tadinya
dilakukan oleh Bapedal, sekarang menjadi kementerian lingkungan hidup dengan
deputi-deputi khusus. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya dualisme di
dalam menangani masalah-masalah lingkungan hidup.
Tugas-tugas
penegakan hukum lingkungan terutama adalah melakukan pencegahan dan
penanggulangan pencemaran dan keruskan lingkungan hidup, serta pemulihan
kwalitas lengkungan hidup sebagai akibat dari pelaku-pelaku kegiatan usaha yang
berlebihan. Sebagai tindak lanjut dari itu, perlu dilakukan beragai
tindakan-tindakan, seperti : pengkajian serta penyusunan , pemamntauan ,
pengawasan (control) dan penerapan sanksi-sanksi administrasi bagi pelanggar. (
Undang-Undang Nomor 23, Tenatang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 25, 27).
Berikut
perihal peranan, Pemerintah derah, seperti : Gubernur, bupati, dan walikota mempunyai
peranan di dalam proses penegakan hukum lingkungan melalui hukum administrasi.
Hal ini terlihat dari wewenang tentang “paksaan pemerintahan” dan usul
pencabutan izin usaha kepada pejabat yang berwenang. Untuk itu, pemerintah
provinsi, yang dipelopori oleh DKI Jakarta, membentuk BPLHD, sebagai pengganti
BAPEDALDA.
BPHLD
ini bukan organ bawahan dari kementerian lingkungan hidup, melainkan ada di bawah
dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.
Setelah izin dikeluarkan, maka perlu dilakukan pengawasan, untuk
memantau apakah kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Pengawasan dilakukan oleh
Menteri Lingkungan Hidup dengan menunjuk pejabat yang berwenang untuk itu, atau
dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah, yang juga menetapkan pejabat yang
berwenang untuk itu.
Pengawas
berwenang melakukan tugas pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari
dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu,
mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau
transportasi, serta meminta keterangan dari fihak yang bertangung jawabatas
usaha dan/atau kegiatan. Penanggung jawab usaha wajib memenuhi permintaan
petugas pengawas, asal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Pelaksana tugas pengawasan diatas,
biasanya dikenal dengan sebutan inspektur, yang dapat melakukan
kunjungan-kunjungan regular kepada obyek yang diawasi, maupun secara dadakan
(impromtu) sesuai kebutuhan. (Adrian
Sutedi, SH.,MH. Hal. 252).
4.
Pembangunan
Berkelanjutan (Substainable Development)
Sebagai respon terhadap hal-hal diatas muncullah konsep
pembangunan yang berkelanjutan (Substainable
Development). Di dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,
disebutkan bahwa :
“Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan
dengan azas tanggung jwab negara, azas berkelanjutan, dan azas manfaat
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya dengan beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa”.
Peranan dan arti penting dari hukum lingkungan, mengharuskan
para hakim, pengacara, dan praktisi hukum lainnya untuk bersungguh-sungguh
memeperhatikan hal ini. Apalagi jika kasus-kasus yang menyangkut lingkungan
hidup itu sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mungkin dapat digolongkan ke dalam unsur-unsur kepentingan umum dalam
rangka pembangunan, karena kepentingan yang dilindungi dalam konsep pembangunan
tersebut bukan hanya individu atau masyarakat tertentu saja, melainkan
kepentingan umum bahkan masyarakat dunia tanpa mengenal batas-batas wilayah
negara, serta kepentingan masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang
(masa depan).
Dalam hal demikian ini Kementerian Lngkungan Hidup dan
BPLHD, bukan kuasa pengadilan, karena badan/ institusi tersebut hanya melakukan
pengawasan, serta memberikan saran-saran kepada Menteri Lingkungan Hidup atau
Pemerintah Daerah, untuk melakukan tindakan –tindakan berupa sanksi-sanksi
administrasi. Institusi/ lembaga tersebut lebih banyak melakukan penataan dalam
tugas pengawasannya, dari pada tindakan penghukuman (punishment). Kalau terpaksa saja, institusi/ lembaga tadi hanya
membuat rekomendasi-rekomendasi kepada Menteri Lingkungan Hidup atau Kepala
Daerah, sebagai laporan atas hasil pemantauannya.
Menteri Lingkungan Hidup/ Kepala Daerahlah yang kemudian
melakukan tindakan-tindakan berupa penghukuman (punishment), dalam bentukpaksaan pemerintahan, audit lingkungan,
skorsing, pencabutan izin dan sebagainya. Semua penjatuhan sanksi-sanksi
administrasi tersebut, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai obyek sengketa di
PTUN, dapat digugat dari segi legalitasnya (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997,
Tentang Pengelolaan Lingkungan HIdup).
Selain sanksi-sanksi administrasi
yang telah dikemukakan di atas, Paulus Efendi Lotulung, menguraikan
sanksi-sanksi administrasi itu menurut sistematikanya, sebagai berikut :
a.
Teguran atau peringatan (lisan atau
tulisan);
b.
Paksan nyata (Bestuurs
Dwang / executive coercion);
c.
Uang paksa (Dwangsom / Coersive sum);
d.
Pembayaran denda (fines);
e.
Penangguhan berlakunya izin (skorsing);
f.
Pencabutan izin;
g. Penutupan
perusahaan (Paulus Efendi Lotulung, 1995, hal 7)
Semua
jenis sanksi administrasi , baru dapat
diterapkan apabila sudah dimuat dalam peraturan dasrnya (basis regeling). Selanjutnya menurut Paulus Efendi L, bahwa “standar penilaian” terhadap sanksi
administrasi terdiri atas :
a.
Kemungkinan
diterapkannya sanksi, seperti :
1).
Adanya kewenangan pejabat
yang bersangkutan untuk menjatuhkan sanksi;
2).
Adanya fihak/orang tertentu yang dapat dikenakan sanksi
(pelanggaran hukum);
3). Penentuan
adanya fakta-fakta yang
dapat menyebabkan dijatuhkannya sanksi.
b. Kemurnian atau bersihnya tujuan penjatuhan
sanksi yang ditepkan oleh pejabat, seperti :
1). Azas
kecermatan dan azas
penghati-hatian dalam meneliti fakta dan kepentingan;
2).
Azas tidak boleh adanya penyalahgunaan wewenang atau tindakan yang
sewenang-wenang;
3).
Mempertimbangkan segala kepentingan, yang termasuk policy dan kebijaksanaan pemerinah;
4). Sanksi harus bersifat proporsional;
5). Tidak
bersifat diskriminatif terhadap kasus yang serupa, dan sebagainya.
c. Maksud
penjatuhan sanksi adalah untuk menekankan kewajiban-kewajiban sebagai
reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi. Bukan untuk
pemberian nestapa dan bukan pula untuk pembayaran kepada fihak lain (Paulus
Efendi Lotulung, 1995, hal. 10).
Penegakan hukum adinistrasi
dapat dilakukan melalui sarana administrasi
iitu sendiri (kontrol intern), maupun melalui pengadilan (kontrol
ekstern).
Pengawasan melaui administrasi , dapat
berupa :
a.
pemberian izin;
b.
pengawasan oleh inspektur;
c.
penjatuhan sanksi-sanksi administrasi;
d. banding
administrasi; dan lain sebagainya.
Secara garis besar pendekatan
penataan dapat ditempuh melalui 4 (empat) pendekatan, yaitu :
a.
CAC (Common
And Control)
b.
Pendekatan Ekonomi
c.
Pendekatan perilaku (behavior)
d. Pendekatan
pendayagunaan tekanan publik (public
pressure).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar