DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Di
dalam mempelajari hukum adat, salah satu yang harus diketahui adalah dasar
hukum berlakunya hukum adat itu sendiri, hal ini untuk meykinkan bahwa
keberadaan hukum adat memang benar-benar diakui didalam perundang-undangan yang
berlaku di negeri ini. Adapaun perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
berlakunya hukum hukum adat itu adalah :
1.
Undang-Undang Dasar 1945
2.
UUDS Tahun 1950
3. I.S. Pasal 131 jis R.R. Pasal 75 Baru dan
Lama
4.
I.S. Pasal 134
5.
Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, LN Nomor 9
6.
Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 dan
7.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Untuk lebih jelasnya dan guna melengkapi
pengetahuan kita tentang Dasar Perundang-Undangan yang mendasari berlakunya
Hukum Adat di lingkungan Tata Hukum positif di Indonesia, maka berikut
disampaikan kajian dan paparan lebih jauh tentang Perundang-Undangan tersebut.
A. Undang-Undang Dasar 1945
Apabila kita kaji dan kita teliti
kita tidak akan pernah mendapatkan di dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan dengan jelas
dan tegas mengenai dasar berlakunya hukum adat.
Dasar yang dipakai untuk memberlakukan Hukum adat itu adalah pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan :
“ Segala Badan Negara dan peraturan yang ada , mm
asih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang ini”.
B. UUDS Tahun 1950.
Undang-Undang
Dasar Sementara tahun 1950 dalam pasal 104 ayat 1 menyatakan :
“Segala keputusan pengadilan harus
berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan
undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu “
C. I.S. (Indische Staatsregeling) Pasal 131
jis R.R.(Regerings-Reglement) pasal 75 baru dan lama
Menurut
ketentuan Pasal 131 ayat 2 sub b I.S., maka bagi golongan hukum Indonesia asli
dan golongan TimurAsing berlaku hukum Adat mereka, tetapi bilamana kepentingan
sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Ordonansi dapat menentukan bagi
mereka :
a.
Hukum
Eropa;
b.
Hukum
Eropa yang telah dirubah (gewijzigd Eropees Recht);
c.
Hukum
bagi beberapa golongan bersama-sama; dan
d.
Hukum
baru (Nieuw Recht), yaitu :
Hukum yang merupkan synthese antara hukum
adat dan hukum Eropa.
Ada perbedaan antara I.S. pasal 131 dan R.R. pasal 75.
Perbedaan itu antara lain :
a. Pasal
75 R.R. lama itu ditujukan kepada hakim, sedangkan pasal 131 I.S. ditujukan
kepada pembuat undang-undang;
b. Pasal 75 R.R. lama tidak memuat kemungkinan
bagi orang Indonesia asli untuk menundukkan diri kepada suatu hukum baru;
c. Hukum
adat tidak boleh diberlakukan apabila bertentangan dengan “azas-azas keadilan”.
Apabila Hukum Adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara, maka hakim dapat
menyesaikanya menurut azas-azas hukum Eropa.
Restriksi/ pembatasan atas penerapan dan kemungkinan untuk menambah Hukum
Adat ini tercantum dalam R.R. pasal 75 ayat 3, sedang dalam I.S. pasal 131tidak
ada.
D. I.S. Pasal 134
Mengenai berlakunya Hukum Adat, di dalam I.S. selain pasal 131 kita
jumpai lagi di pasal 134, yang menyebutkan :
“Dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang Islam, dan Hukum
Adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut
diselenggarakan oleh Hakim Agama, kecuali ordonansi telah menetapkan lain”.
E. Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951
Lembaran Negara No 9/1951
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Darurat
No. 1 tahun 1951 disebutkan bahwa, pada saat yang berangsur-angsur akan
ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan :
a. Segala pengadilan Swapraja (Zelfbestuurs-Rechtspraak)
dalam negara Sumatra Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan
Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu
menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dan peradilan
swapraja.
b. Segala Pengadilan Adat (Inhemse
Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd Gebied) kecuali peradilan Agama, jika
peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dari peradilan Adat.
Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat ini, Dorpsrechter (Hakim Desa)
tetap diperthankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat
yang telah dihapuskan itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri.
F. Undang-Undang No. 19 tahun 1964 dan
G. Undang-Undang No. 14 tahun 1970
Ketentuan dan tuntutan
dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “ Kekuasaan
kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan
Kehakiman” telah dipenuhi penyelenggaraannya oleh pasal 3 Undang-Undang No 19
tahun 1964.
Dalam pasal 3
Undang-Undang tersebut memang tidak disebut dengan tegas adanya Hukum Adat,
tetapi hanya dalam penjelasan pasal 10 dinyatakan adanya hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis.
Persoalannya adalah :
Apakah yang dimaksudkan dengan hukum tidak tertulis itu hanya Hukum Adat
saja atau termasuk hukum –hukum tidak
tertulis lainnya seperti Hukum
perniagaan tidak tertulis, hukum tatanegara tidak tertulis dan
lain-lainnya?
Jawaban atas persoalan tersebut dapat ditemukan dalam penjelasan umum
Undanng-undang No 19 tahun 1964, yang menyatakan sebagai berikut :
“ Bahwa peradilan adalah peradilan Negara. Dengan demikian tidak ada tempat
bagi peradilan swapraja dan peradilan Adat. Apabila peradilan-peradilan itu
masih ada, maka selekas mungkin akan dihapuskan seperti yang secara berangsur-angsur
telah dilaksanakan.
Selanjutnya ketentuan yang ada dalam Undang-undang
No 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang
merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat termuat dalam pasal-pasal
sebagai berikut :
a.
Pasal
23 (1) yang berbunyi :
“ Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili”.
Yang dimaksud dengan “hukum tak tertulis” dalam pasal tersebut adalah
“Hukum Adat”.
Ini hampir sama dengan pasal 17 UU No 19 tahun 1964.
b.
Pasal
27 (1) yang berbunyi :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Ini hampir sama dengan pasal 20 (1)
UU No 19 tahun 1064.
Dalam
penjelasan umum Undang-undang ini, bagian 7 berbunyi sebagai berikut:
“ Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan
Negara, dimaksud untuk menutup semua
kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Peradilan
Adat yang dilakukan oleh bukan peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali
tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan
mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan negara.
Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum
yang hidup dngan mengintegrasikan diri di dalam masyarakat, telah terjamin
sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis berjalan
secara wajar”.
Ketentuan-ketentuan
tersebut tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut
Hukum Adat, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum
itu kepada pengadilan-pengadilan Negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan
mengintegrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa
perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar,
sehingga turut srta secara aktif merealisasikan penyatuan dan kesatuan hukum
diseluruh Indonesia.
Hukum
tidak tertulis yang diterapkan/ diselenggarakan oleh Pengadilan Swapraja dan
Peradilan Adat adalah “Hukum Adat”. (Imam Sudiyat,1981, 29)
manteb sekali dan menambah pengetahuan
BalasHapusnice
BalasHapusmbulet anjir
BalasHapusMantap lah
BalasHapus