Selasa, 04 Desember 2012

Dasar Berlakunya Hukum Adat


DASAR HUKUM BERLAKUNYA HUKUM ADAT

           Di dalam mempelajari hukum adat, salah satu yang harus diketahui adalah dasar hukum berlakunya hukum adat itu sendiri, hal ini untuk meykinkan bahwa keberadaan hukum adat memang benar-benar diakui didalam perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Adapaun perundang-undangan yang menjadi dasar hukum berlakunya hukum hukum adat itu adalah :
1.      Undang-Undang Dasar 1945
2.      UUDS Tahun 1950
3.      I.S. Pasal 131 jis R.R. Pasal 75 Baru dan Lama
4.      I.S. Pasal 134
5.      Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, LN Nomor  9
6.      Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 dan
7.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
           Untuk lebih jelasnya dan guna melengkapi pengetahuan kita tentang Dasar Perundang-Undangan yang mendasari berlakunya Hukum Adat di lingkungan Tata Hukum positif di Indonesia, maka berikut disampaikan kajian dan paparan lebih jauh tentang Perundang-Undangan tersebut.
A.  Undang-Undang Dasar 1945
           Apabila kita kaji dan kita teliti kita tidak akan pernah mendapatkan di dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan jelas dan tegas mengenai dasar berlakunya hukum adat.
           Dasar yang dipakai untuk memberlakukan Hukum adat itu adalah pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan :
“ Segala Badan Negara dan peraturan yang ada , mm asih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang ini”.
B.  UUDS Tahun 1950.
           Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 dalam pasal 104 ayat 1 menyatakan : 
           “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu “
C.   I.S. (Indische Staatsregeling) Pasal 131
       jis R.R.(Regerings-Reglement)  pasal 75 baru dan lama    
           Menurut ketentuan Pasal 131 ayat 2 sub b I.S., maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan TimurAsing berlaku hukum Adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Ordonansi dapat menentukan bagi mereka :
a.         Hukum Eropa;
b.         Hukum Eropa yang telah dirubah (gewijzigd Eropees Recht);
c.         Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama; dan      
d.        Hukum baru (Nieuw Recht), yaitu :
Hukum yang merupkan synthese antara hukum adat dan hukum Eropa.
Ada perbedaan antara I.S. pasal 131 dan R.R. pasal 75.
Perbedaan itu antara lain :
a.        Pasal 75 R.R. lama itu ditujukan kepada hakim, sedangkan pasal 131 I.S. ditujukan kepada pembuat undang-undang;
b.       Pasal 75 R.R. lama tidak memuat kemungkinan bagi orang Indonesia asli untuk menundukkan diri kepada suatu hukum baru;
c.        Hukum adat tidak boleh diberlakukan apabila bertentangan dengan “azas-azas keadilan”. Apabila Hukum Adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara, maka hakim dapat menyesaikanya menurut azas-azas hukum Eropa.
Restriksi/ pembatasan atas penerapan dan kemungkinan untuk menambah Hukum Adat ini tercantum dalam R.R. pasal 75 ayat 3, sedang dalam I.S. pasal 131tidak ada.
D.   I.S. Pasal 134
      Mengenai berlakunya Hukum Adat, di dalam I.S. selain pasal 131 kita jumpai lagi di pasal 134, yang menyebutkan :
“Dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang Islam, dan Hukum Adat mereka meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh Hakim Agama, kecuali ordonansi telah menetapkan lain”.

E.   Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951
       Lembaran Negara No 9/1951
          Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan bahwa, pada saat yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan :
a.        Segala pengadilan Swapraja  (Zelfbestuurs-Rechtspraak) dalam negara Sumatra Timur dahulu, Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dan peradilan swapraja.
b.       Segala Pengadilan Adat  (Inhemse Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd Gebied) kecuali peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan   suatu bagian tersendiri dari peradilan Adat. Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat ini, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap diperthankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat yang telah dihapuskan itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri.
F.     Undang-Undang No. 19 tahun  1964 dan
G.   Undang-Undang No. 14 tahun  1970   
               Ketentuan dan tuntutan dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “ Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman” telah dipenuhi penyelenggaraannya oleh pasal 3 Undang-Undang No 19 tahun 1964.
               Dalam pasal 3 Undang-Undang tersebut memang tidak disebut dengan tegas adanya Hukum Adat, tetapi hanya dalam penjelasan pasal 10 dinyatakan adanya hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis.
Persoalannya adalah :
Apakah yang dimaksudkan dengan hukum tidak tertulis itu hanya Hukum Adat saja  atau termasuk hukum –hukum tidak tertulis lainnya seperti Hukum  perniagaan tidak tertulis, hukum tatanegara tidak tertulis dan lain-lainnya?
Jawaban atas persoalan tersebut dapat ditemukan dalam penjelasan umum Undanng-undang No 19 tahun 1964, yang menyatakan sebagai berikut :
“ Bahwa peradilan adalah peradilan Negara. Dengan demikian tidak ada tempat bagi peradilan swapraja dan peradilan Adat. Apabila peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin akan dihapuskan seperti yang secara berangsur-angsur telah dilaksanakan.
Selanjutnya ketentuan yang ada dalam Undang-undang No 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat termuat dalam pasal-pasal sebagai berikut :
a.       Pasal 23 (1) yang berbunyi :
“ Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.
Yang dimaksud dengan “hukum tak tertulis” dalam pasal tersebut adalah “Hukum Adat”.
Ini hampir sama dengan pasal 17 UU No 19 tahun 1964.
b.      Pasal 27 (1) yang berbunyi :
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Ini hampir sama dengan  pasal 20 (1) UU No 19 tahun 1064.
              Dalam penjelasan umum Undang-undang ini, bagian 7 berbunyi sebagai berikut:
“ Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud untuk  menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang dilakukan oleh bukan peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dngan mengintegrasikan diri di dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis berjalan secara wajar”.
              Ketentuan-ketentuan tersebut tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis yang disebut Hukum Adat, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada pengadilan-pengadilan Negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan mengintegrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis itu akan berjalan secara wajar, sehingga turut srta secara aktif merealisasikan penyatuan dan kesatuan hukum diseluruh Indonesia.
              Hukum tidak tertulis yang diterapkan/ diselenggarakan oleh Pengadilan Swapraja dan Peradilan Adat adalah “Hukum Adat”.  (Imam Sudiyat,1981, 29)

4 komentar: