Selasa, 04 Desember 2012

Corak dan Sistem Hukum Adat


CORAK DAN SISTEM HUKUM ADAT

  1. Corak Hukum Adat
            Kita merasakan dan memahami bahwa Hukum Adat Indonesia itu, khususnya hukum adat yang normatif pada umumnya menunjukkan corak-corak sebagai berikut :
            1.  tradisional;
            2.  keagamaan (religiomagis);
            3.  kebersamaan (kommun);
            4.  konkrit dan visual
            5. terbuka dan sederhana
            6. dapat berubah dan menyesuaikan
            7. tidak dikodifikasi
            8. musyawarah dan mufakat.
            Untuk lebih jelasnya berikut disampaikan uraian dari masing-masing corak tersebut, yaitu :
1.  Tradisional
            Tradisional maksudnya bahwa hukum adat itu bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang sampai keanak cucu sekarang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan.
Misalnya :
2.1.1.1.Di Batak, dalam kekerabatan adat Batak menarik garis keturunan dari garis lelaki yang disebut ”dalihan nan tolu” (bertungku tiga), yaitu hubungan antara marga hula-hula, dengan tubu dan boru.
2.1.1.2.Di Lampung, yang memberlakukan kewarisan dengan sistem ”mayorat lelaki” dimana anak tertua lelaki menguasai seluruh harta peninggalan dengan kewajiban mengurus adik-adiknya sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri.
2.   Keagamaan
          Artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukum adat itu berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang ghoib dan berdasarkan pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut kepercayaan bangsa Indonesa bahwa di alam semesta ini semua benda itu serba bernyawa (animisme), benda-benda itu bergerak (dinamisme); disekitar kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia (malaikat, jin, iblis dan lain sebaigainya) serta keberadaan alam ini karena ada yang mengadakan/ menciptakan yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta.(Hilman H. Hal.34).
3.   Kebersamaan (kommunal)
                Kommunal artinya bahwa hukum adat itu lebih mengutamakan kepentingan bersama, dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama ”Satu untuk semua dan semua untuk satu”. Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dengan lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekluargaan, tolonh menolong dan gotong royong.
                Wujud dari sifat kebersamaan itu antara lain adanya ”rumah gadang” di Minagkabau, adanya ”tanah pusaka”, ungkapan orang jawa ”dudu sanak dudu kadang ning yen mati melu kelangan” adalah wujud kebersamaan.
4.   Konkrit dan Visual
                     Konkrit, artinya bahwa hukum adat itu jelas, nyata dan berwujud. Visual artinya dapat dilihat, tampak, terbuka dan tidak tersembunyi. Jadi sifat atau corak hukum adat yang berlaku itu adalah ”terang dan tunai”. Maksudnya terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar oleh orang lain. Dan waktu pelaksanaannya juga jatuh secara bersamaan pada saat ijab kabul (serah terima).
      Contoh dalam jual beli, apabila ketika barang diserahkan uang belum dibayar pada saat itu, maka menurut hukum adat itu bukan jual beli, tetapi utang-piutang.
5.   Terbuka dan sederhana
                    ”Terbuka” dalam corak hukum adat artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datang dari luar asalkan tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Contohnya dalam sistem perkawinan adat yang dipengaruhi oleh hukum Hindu yang disebut ”kawin anggau” yaitu jika suami wafat, maka istri kawin lagi dengan saudara suami. Atau hukum waris adat yang dipengaruhi oleh hukum Islam yaitu adanya sistem ”sepikul segendong), dimana ahli waris pria dan wanita masing-masing dapat bagian dengan perbandingan 2:1.
              ”Sederhana” artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling mempercayai. Contohnya dalam perjanjian bagi hasil pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap, perjanjian gadai, sewa menyewa , tukar menukar, hutang piutang dan lain sebagainya.
6.      Dapat berubah dan menyesuaikan
              Hukum Adat itu dapat berubah dan menyesuaikan menurut keadaan, waktu dan tempat. Seperti ungkapan orang Minangkabau ” Sekali aik gadang sekali tapian beranja, sekali raja berganti, sekali adat berubah” (Begitu air besar, begitu pula tempat pemandian bergeser, begitu pemerintah berganti, begitu pula adat lalu beerubah). Adat yang nampak pada kita sekarang ini sudah jauh berbeda dengan adat masa Hindia Belanda.
              Kita sadari bahwa sekarang hukum adat yang ada dimasyarakat itu sudah banyak yang disesuaikan dengan perkembangan jaman. Misalnya sistem kekeluargaan matrilinial diMinangkabau yang berharta pusaka itu telah berangsur-angsur beralih ke sistem parental yang berharta suarang.    
7.      Tidak dikodifikasi
              Kebanyakan hukum adat itu memang tidak dikodifikasi, tetapi ada beberapa yang dicatat dalam aksara daerah, bahkan ada yang sudah dibukkan meskipun belum sistematis, dan hanya sebagai pedoman bukan mutlak harus dilaksanakan. Oleh karena itulah hukum adat mudah berubah, dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
8.      Musyawarah dan mufakat
        Musyawarah dan mufakat menjadi corak hukum adat, karena ini memang merupakan ciri khas banga Indonesia didalam berhubungan dengan sesamanya baik itu di dalam keluarga, kekerabatan, ketentanggaan maupun di dalam kenegaraan. Apalagi jika hal itu menyangkut penyelesaian perselisihan atau peradilan, maka diutamakan penyelesaian itu dengan cara rukun dan damai melalui musyawarah dan mufakat.
  1. Sistem Hukum Adat
              Apabila dibandingkan dengan hukum Barat (hukum Eropa), maka hukum adat itu sangatlah sderhana, bahkan tidak sistematis.  Sistematika hukum adat itu lebih mendekati sistem hukum Inggris (Anglo Saxon) yang disebut Common Law, dan berbeda dengan dengan Civil Law dari Eropa Kontinental. Misalnya, hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat, tidak membedakan antara hak kebendaan dan hak perorangan, tidak membedakan perkara perdata dan perkara pidana.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar