MASYARAKAT HUKUM ADAT
7.1. Pengertian Masyarakat Hukum
Pengertian masyarakat Hukum
menurut Ter Haar, adalah :
”
Kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan
sendiri dan kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun tidak berwujud (Hilman
Hadikusuma, 1992, hal. 105)
7.2. Macam-macam Masyarakat Hukum
7.2.1. Masyarakat Hukum Teritorial
Masyarakat Hukum Teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur yang
anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik
dalam kaitan daniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani
sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur ((Hilman Hadikusuma, 1992,
hal. 106).
Menurut van Dijk, persekutuan hukum teritorial itu dapat dibedakan dalam
tiga macam, yaitu :
a. Persekutuan Desa
b. Persekutuan Daerah
c. Perserikatan Desa
7.2.2. Masyarakat Hukum Genealogis
Masyarakat hukum
genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana para
anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik
secara langsung karena hubungan darah maupun tidak langsung karena pertalian perkawinan
atau pertalian adat. Dimasa Hindia Belanda masyarakat genealogis ini dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu :
·
Masyarakat patrilinial;
·
Masyarakat
matrilinial;
·
Masyarakat
bilateral/ parental.
7.2.3. Masyarakat Hukum Teritorial-Genealogis
Masyarakat
Hukum Teritorial-Genealogis, adalah kesatuan masyarakat yang tetap dan teratur
dimana para anggotanyabukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah
tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian
darah dan atau kekerabatan.
7.2.5. Masyarakat Adat di Perantauan
Masyarakat desa adat keagamaan
Sadwirama, merupakan suatu bentuk baru bagi orang-orang Bali untuk tetap
mempertahankan eksistensi adat dan agama Hindunya di daerah-daerah perantauan.
Di kalangan masyarakat adat Jawa, di daerah-daerah transmigrasi, seperti di
Lampung, dapat dikatakan tidak pernah terjadi pembentukan masyaraakat adat
sendkat adat tersendiri, disamping desa yang resmi. Masyarakat adat Jawa yang
bersifat ketetanggaan itu mudah membaur dengan penduduk setempat.
7.3. Kepengurusan Masyarakat Adat
Seperti
yang kita lihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dilingkungan kita, bahwa
setiap kelompok kesatuan masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum adat,
baik yang bersifat teritorial maupun genealogis ataupun dalam bentuknya yang
baru seperti organisasi perkumpulan adat/ keagamaan, kekeluargaan di
perantauan, kekaryaan daan lainnya diatur menurut hukum adat (kebiasaan)
mempunyai susunan pengurus yang menyatu dengan kepengurusan resmi ataupun tern
lainnya diatur menurut hukum adat (kebiasaan) mempunyai susunan pengurus yang
menyatu dengan kepengurusan resmi ataupun terpisah berdiri sendiri, yang jelas
tetap memiliki kepengurusan.
7.3.1. Kepengurusan Masyarakat Adat
Teritorial
Kepengurusan
masyarakat adat yang bersifat teritorial ini yang lebih menunjukkan hubungan
yang bersifat kekeluargaan dalam ketetanggaan terdapat didaerah-daerah sebagai
berikut :
a. Di Aceh
Di Aceh ada suatu tempat
kediaman yang disebut ”Mukim” yang
dahulu dipimpin oleh seorang Ulebalang.
Mukim ini merupakan kesatuan dari beberapa gampong
(kampung) dan juga mennasah (lembaga
agama). Setiap gampong dipimpin oleh seorang Keuciq sebagai kepala kampung dan imeum (imam) atau Teungku Meunasah.
b. Di Sumatra Selatan
Di Sumatra Selatan desanya
disebut ”marga” sebagai merupakan kesatuan dari beberapa dusun. Diantara
marga-marga itu sebagian besar bersifat teritorial, hanya sebagian kecil saja
yang bersifat genealogis. Kepala marganya disebut Pasirah dengan gelar Pangeran
atau Depati, sedangkan kepala dusun
disebut Krio atau mangku atau prowatin. Para staf pembantu disebut ”Punggawa”.
c. Di Jawa
Di Jawa dan Madura, Desa
merupakan tempat kediaman yang meliputi beberapa pedukuhan. Dukuh yang utama
tempat kedudukan Kepala Desa disebut Krajan, sedangkan dukuh lainnya terletak
tidak jauh dari pusat desa. Setiap desa dikepalai oleh Kepala Desa yang
dahulu dijabat secara turun temurun yang
disebut Lurah (Kuwu/ Bekel/ Petinggi) dengan beberapa staf pembantu dalam
melaksanakan kepengurusan desanya, yaitu :
·
Carik,
sebagai juru tulis desa
·
Kami
Tuwo, sebagai kepala pedukuhan
·
Modin,
sebagai pengurus keagamaan
·
Jogoboyo,
sebagai pengurus keamanan
·
Bahu,
Bayan dan lain sebagainya.
7.3.2. Kepengurusan Masyarakat Territorial Genealogis
Masyarakat adat
teritorial-genealogis ini merupakan
masyarakat yang jalinan hubungan antara warganya tidak saja bersifat
kekeluargaan dalam ketetanggaan, akan tetapi juga dalam hubungan keturunan dan
kekerabatan.
7.3.3. Kepengurusan Masyarakat
Adat-Keagamaan
a. Di lingkungan
masyarakat kepercayaan lama
Masyarakat
yang masih menganut kepercayaan lama ini ada di tanah Batak bagian utara, di
sana suatu cabang marga yang disebut “Horja”
yang merupakan persekutuan pujaan. Masyarakat Batak percaya adanya 5 dewata,
yaitu :
· Batara
Guru;
· Soripada;
· Mangala
Bulan (Debata na Tolu);
· Mulajadi
na Balon dan
· Debataasiasai.
(Hilman Hadikusuma, 1992, 144)
7.3.4.
Kepengurusan
Masyarakat adat Lainnya
a.
Masyarakat
adat di perantauan
Perpindahan
masyarakat adat dari satu daerah kedaerah lain dengan berbagai alas an sudah
terjadi sejak lama, terutama alas an mata pencaharian. Perpindahan itu lebih
banyak agi terjadi setelah kemerdekaan, baik itu yang diselenggarakan oleh
pemerintah dalam bentuk transmigrasi maupun atas inisiatif sendiri kaena
kebutuhan hidup.
b.
Masyarakat
keorganisasian umum
Rakyat
Indonesia sudah mengenal berbagai organisasi mdern sejak sebelum perang dunia
pertama, dimulai dari Budi Utomo, Sarekat dagang Islam, Muhammadiyah,
Nahdalatul ‘Ulama dan organisasi-organisasi yang berhaluan politik seperti Perserikatan
Nasional Indonesia dan lain sebagainya. Setelah kemerdekaan
organisasi-organisasi tersebut kemudian semakin maju dan berkembang baik
dilingkungan instansi pemerintah maupun swasta.
c. Masyarakat keturunan Cina
Masyarakat
adat keturunan Cina di zaman Hindia Belanda kependudukannya digolongkan dalam
golongan Timur Asing, terhadap mereka berdasarkan pasal 131 ayat 2 b IS berlaku
hukum adatnya masing-masing. Orang-orang Cina tersebut memasuki Indonesia
sebagai Imigran, terutama dari suku Hokkien
dari profinsi Fu Kien Cina
Selatan.
Sistem
kekerabatan masyarakat Cina bersifat patrilinial dan virilokal, yang terdiri
dari keluarg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar